Halaman Awal

08 Agustus 2015

Hujan Batu - Cerpen

HUJAN BATU
Oleh N Yahya Yabo
Malam telah memihak pada mereka, mereka masih bersimpuh pada pertengahan malam, dan dia tak ingin dicerca.
Sukarmi, masih duduk merenung, menatap ke arah depan di atas tempat duduk yang menghadap pintu keluar rumahnya. Sesekali melihat jam dinding yang masih terus berputar tanpa henti, seperti juga hidup ini. Rumahmya sederhana, ukurannya mimalis, pintu yang telah terkelupas bentuk kayunya, atap seng telah berkarat. Di atas meja dekat kursi hanya ada asbak, asbak yang tak berpuntung rokok. Air bening di sudut matanya kian tak bisa lagi dia bendung setelah berkali-kali ia mencobanya. Pipinya basah, tapi matanya masih fokus pada satu titik ke arah depan. Raut wajahnya pun tak berubah.
2xxx
Warga kini berada di depan rumahnya, mereka membawa segala senjata tajam. Obor sebagai penerang mereka. “ayo keluar kamu,jangan bersembunyi di dalam”. Suara dari salah satu dari puluhan warga yang datang. Tak ada tanda-tanda akan keluar seseorang dari dalam rumah. Kepala desa setempat sesekali menenangkan warga yang mulai kehabisan kesabaran.” Sabar,sabar bapak-bapak, saudara-saudara sekalian. Mereka semua tak bisa lagi ditahan.
3xxx
Bendera kuning berkibar di depan rumah seseorang. Semalam warga itu meninggal dunia dengan penyakit aneh yang mengerogoti tubuhnya. Padahal sebelumya dia sehat-sehat saja. Bau badanya amis, lukanya yang mengeluarkan nana dan darah. Penyakitnya tak ada yang mengetahuinya. Mereka hanya tahu bahwa dia terkena ‘guna-guna’. 
xxx

Sukarmi masih ingat semua detail kejadian yang dialami malam itu. Warga yang telah marah dan tak bisa lagi menahan segala emosinya kini makin tak terkendali. Kepala desa pun tak mampu lagi mencengahnya, hanya sabar melihat warga yang berlaku bringas, kata yang ditujukan untuk warganya berbalik hanya untuk kepala desa sendiri.
xxx
Suardi dan Sukarmi masih di dalam rumah dia tak mau menemui warga yang sedang mencari Suardi. Cemas bercampur ketakutan terlihat di raut wajah keduanya. Suardi tetap barada samping Sukarmi. Sesekali memeluk dengan tangan kanannya menyandarkan kebahunya. Hanya diam yang mereka lakukan.  Ruangan diselimuti gelap malam, hanya cahaya bulan purnama yang memberikan penerangan dalam rumah Suardi. Obor-obor warga kian menyala terang, api obor itu makin meluap-luap sama seperti luapan kemarahan warga. Tak mendapatkan respon dari dalam rumah, warga memaksa membuka secara paksa pintu rumah Suardi. Mereka menendang, mendobrak pintu, daun pintu terlepas tak kuat menahan benturan keras dari warga.  Setelah merusak pintu semua warga mulai mencari sekeliling. Ruangan pertama yang dimasuki kosong. Hanya ada asbak tak berpenghuni. Mereka kemudian menyebar ke semua ruangan yang ada di rumah itu. Di salah satu kamar, mereka mendapati Suardi dan Sukarmi sedang duduk berdempetan di atas ranjang tepat di sudut-sudut kamar. Tubuh keduanya kini bergetar tak bisa dikuasai. Mereka lalu berpelukan. Warga yang melihatnya lansung menyeret keduanya keluar kamar hingga keluar ke depan rumah. Keduanya kini dikelilingi oleh para`warga yang tidak lain adalah tetangga mereka sendiri.  “dasar”, teriakan seseorang dari belakang kerumunan warga. Sukarmi terus saja menangis, menutup mukanya. Sukarmi dipisahkan dari Suardi, dia di bawa keluar dari lingkaran warga yang di tengahnya tertinggal Suardi seorang. “ayo, kamu mengaku kalau kamu yang melakukan semua perbuatan yang dituduhkan olehmu”, bentak warga yang berdiri di samping kepala desa. “aku tidak melakukannya, bukan aku”, kata suardi membela diri. “ kamu janga mengelak semua bukti sudah mengarah padamu, alat-alat yang kamu gunakan juga telah kami dapatkan”, warga lain berkata dengan nada keras. Tapi sekuat apapun Suardi membela diri, dia tak bisa meyakinkan warga. Warga juga tak lagi percaya padanya. Beberapa pukulan mendarat di tubuh Suardi, pasrah. Sukarmi yang dipegangi oleh warga lain yang menenangkannya karena sedari tadi masih histeris melihat keadaan Suardi. “tolong, kasihani dia, jangan terus pukuli suamiku”. Tetapi warga tak menghiraukan senduhan Sukarmi yang meratap. Mereka terus saja menghakimi Suardi. “ bukan, buka aku yang melakukan guna-guna itu, aku tak bisa ilmu tenun”. “kamu jangan mengelak, mana ada dukun santet yang mau mengakaui diriya sebagai dukun”.  Sauardi lalu diikat di pohon yang tak berdaun. Malam makin saja larut, purnama juga masih setia meminjamkan cahayanya pada warga yang terus saja memelihara amarahnya.
Mereka berbuat begitu bukan tanpa alasan, tapi mereka telah menduga-duga bahwa Suardilah pelakunya. Dia dituduh telah melakukan praktik tenun dan telah mengguna-guna salah seorang warga. Seseorang yang telah diduga diguna-guna itu adalah tetangga tak jauh dari rumah Suardi. Warga itu dipanggil Pak Sartono. Memang kadang Pak Sartono membatu warga yang lain, tapi dengan rasa pamrih yang berlebihan. Pak Sartono juga sering menyombongkan kekayaannya yang dimilikinya pada tetangga-tetangganya. Saat Suardi dan Sukarmi baru pindah di desa dua tahun yang lalu, satu desa dengan Pak Sartono, Suardi sudah tak menyukai gelagat Pak Sartono, mungkin karena sikapnya yang sombong. Perrnah ketika Pak Sartono membatu keluarga Suardi, Pak Sartono tak heti-hentinya membicarakan kebaikannya pada tetangga lain selama hampir empat pekan. Setiap orang yang ditemuinya diumbar-umbarkan kebaikannya dan selalu merendahkan keluarga Suardi. Saat itu Suardi tambah tak menyukai Pak Sartono.  Karena alasan itu, para tetangga berpikir bahwa Suardilah penyebab kematian Pak Sartono yang terasa ganjil di mata para warga.
Purnama masih menjadi saksi malam itu saat malam makin menua di pertengahan, saat rumah pasangan suardi dan sukarmi dilempari batu saat ingin menyeret suardi dan dibakar warga setelahnya.
Sukarmi ingin menghilangkan semua ingatannya tentang kejadian itu, setelah kejadian itu merenggut nyawa sang suami yang dia cintai. Jika air mata Sukarmi bisa ditampung tuk membuktikan cintanya pada suami maka bak penampungan pun tak cukup menampung segalanya. Air matanya terlalu suci. Dia menghapus pipinya dari air suci itu. Tak ingin lagi rasanya mengeluarkan cairan bening yang suci itu saat dia mengingat semua kejadian lalu. Saat Sukarmi masih duduk di kursi, dia melihat jam. Waktu telah menunjukkan 17:35. Saat matahari telah berpulang, Sukarmi juga ingin menghadap Sang Pemberi ma’af, ingin berdoa agar mereka yang melakukan kejadian itu diampuni-Nya. Amin.
02-05-2014

Malam sunyi dan terlelap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar